Jiwa wirausaha
seseorang dapat tumbuh dari dalam dirinya atau dari pengaruh dari luar seperti
keluarga, lingkungan dan masyarakat. Merujuk pada pendapat JG. Burch (1988)
wirausaha adalah seorang yang selalu mencari perubahan berusaha mengikuti dan
menyediakan pada perubahan itu serta memanfaatkan sebagai peluang. Selain itu
ada 9 pokok lain yang terbentuk oleh dorongan untuk mencapai keberhasilan dan
tidak merupakan ciri-ciri pribadi.
Ciri-ciri tersebut adalah: (a). dorongan berprestasi. (b) bekerja keras, (c)
memperhatikan kualitas, (d) sangat bertanggung jawab, (e) berorientasi pada
imbalan, (f) optimis, (g) berorientasi pada hasil karya yang baik, (h)
berorientasi pada uang.
Berdasarkan
pendapat di atas, ciri-ciri tersebut di atas, dapat diketahui tinggi rendahnya
kadar kewirausahaan seseorang akan timbul jika pada diri seseorang tersebut
dalam perjalanan kedewasaannya mengalami akumulasi catatan mental (mental notes) yang membanggakan. Dalam kaitan dengan hal ini
Prasetyo Admosutejo mengatakan bahwa seseorang wirausaha harus dapat
mengembangkan kejuangan, kemandirian, kreatifitas, serta membanggakan untuk
menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.
Dalam konteks yang
lebih luas, peran budaya dalam wirausaha dapat juga dilihat dari kondisi Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang memberikan gambaran entang etos manusianya. Pada
konteks masyarakat Bali, dimana pengaruh budaya
dalam mendorong jiwa wirausaha masyarakat yang diantaranya ditandai
dengan etos pembangunan manusia. Pembangunan manusia sebagai modal dasar bagi
pembangunan perekonomian suatu wilayah. Model pembangunan manusia menurut UNDP
(1990) ditujukan untuk memperluas pilihan yang dapat dicapai melalui upaya
pemberdayaan penduduk melalui peningkatan kemampuan dasar manusia. UNDP
melakukan pengukuran kinerja pembangunan manusia melalui suatu ukuran tunggal
dan sederhana yang diberi nama Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks
tersebut memuat tiga aspek, yaitu kesehatan, pendidikan/ketrampilan, dan
pendapatan yang memungkinkan untuk hidup layak. Penggunaan indeks ini cukup
memadai, karena dapat merefleksikan sampai sejauh mana upaya dan kebijakan yang
dilakukan dalam kerangka pembangunan manusia di suatu wilayah.
Jiwa kewirausahaan
seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor sikap kejuangan,
kemandirian, kreatifitas, sikap inovatif, motivasi kerja dan sebagainya. Sikap
inovatif dan motivasi kerja pada seseorang terkadang timbul dari nilai-nilai
budaya yang dianut. Dalam nilai-nilai budaya terdapat budaya yang memandang
harus aktif, sangat berperan dalam pembangunan, khususnya jiwa wirausaha
penduduk. Penduduk dalam hal menghadapi hidup ini sebagai tantangan yang harus
dihadapi secara aktif. Tidak saja menyerah terhadap keadaan yang menimpa
seseorang, tetapi orang harus berusaha secara aktif untuk mengubah keadaan yang
dialaminya.
Orang harus
bergerak mengatasi segala kesulitan termasuk kesulitan di bidang ekonomi untuk mendapatkan penghasilan orang tidak harus
mengenal menyerah pada nasib. Namun orang harus selalu berpedoman bahwa
nasib adalah hasil usaha orang mencapai tujuan. Jadi orientasi nilai budaya
penduduk yang menganggap hidup selalu aktif akan berperan terhadap jiwa
wirausaha penduduk. Semangat dan keinginan untuk mengambil kesempatan usaha
serta kemauan untuk bekerja di lapangan kerja yang tersedia merupakan salah
satu jalur (lintasan) dan faktor pemungkin untuk terjadinya peningkatan
kesejahteraan masyarakat (Sahoo dan Dash, 2008). Di lain sisi, keinginan dan
kemauan masyarakat ini akan sangat ditentukan oleh orientasi wirausaha
masing-masing individu masyarakat yang dipengaruhi pula oleh nilai-nilai budaya
yang dianutnya, dengan tiga penciri utama dari orientasi wirausaha adalah
inovasi, pengambilan risiko, dan proaktif (Covin dan Slevin, 1991; Miller et. al, 1982; Miller dan Peter, 1982).
Kajian Keh et. al. (2007) menunjukan bahwa orientasi
wirausaha memegang peranan penting dalam meningkatkan kinerja usaha. Sedangkan
Miller dan Fneseri (1982) mengungkapkan bahwa orientasi wirausaha menjadi suatu
makna yang dapat diterima untuk menjelaskan kinerja usaha. Orientasi wirausaha
mengacu pada proses, praktik, dan pengambilan keputusan yang mendorong ke arah
input baru dan mempunyai tiga aspek kewirausahaan, yaitu berani mengambil
risiko, bertindak secara proaktif dan selalu inovatif (Lumpkin dan Dess, 1996).
Berani mengambil risiko merupakan sikap wirausahawan yang melibatkan
kesediaannya untuk mengikat sumber daya dan berani menghadapi tantangan dengan
melakukan eksploitasi atau terlibat dalam strategi bisnis dimana kemungkinan
hasilnya penuh ketidakpastian (Keh et al.,
2002).
Proaktif
mencerminkan kesediaan wirausaha untuk mendominasi pesaing melalui suatu
kombinasi dan gerak agresif dan proaktif, seperti memperkenalkan produksi baru
atau jasa di atas kompetisi dan aktivitas untuk rnengantisipasi permintaan
mendatang untuk menciptakan perubahan dan membentuk lingkungan. Inovatif
mengacu pada suatu sikap wirausahawan untuk terlibat secara kreatif dalam
proses percobaan terhadap gagasan baru yang memungkinkan menghasilkan metode
produksi baru sehingga menghasilkan produk atau jasa baru, baik untuk pasar
sekarang maupun ke pasar baru.
Pendapat tersebut
sejalan dengan pendapat Wiklund (1999) yang mengatakan bahwa orientasi
wirausaha yang tinggi berhubungan erat dengan penggerak utama keuntungan
sehingga seorang wirausahawan mempunyai kesempatan untuk mengambil keuntungan
dan munculnya peluang-peluang tersebut, yang pada akhirnya berpengaruh positif
terhadap kinerja usaha. Sementara itu, menurut Covin dan Slevin (1991); Smart
dan Conant (1994): Wiklund (1999), menyatakan bahwa orientasi wirausaha yang
semakin tinggi dapat meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memasarkan
produknya menuju kinerja usaha yang lebih baik. Oleh sebab itu, perusahaan yang
semakin inovatif, proaktif, dan berani untuk mengambil risiko cenderung mampu untuk
berkinerja usaha yang lebih baik.
Hasil penelitian
Zahra (1991); Zahra & Covin (1995) membuktikan hubungan yang positif dengan
pertumbuhan penjualan. Sementara itu, Covin & Slevin (1989) dalam
penelitiannya melaporkan adanya hubungan yang positif antara postur wirausaha
(risk taking, inovasi produk, dan agresitivitas atau pendirian kompetitif yang
proaktif dari manajemen puncak) dengan kinerja perusahaan.
Smart & Conan
(1994), Zahra (1993) dan Wiklund (1999) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang
kuat antara orientasi wirausaha dengan profitabilitas dan perolehan penghasilan
perusahaan. Lumpkin & Dess (2001) yang menyatakan bahwa salah satu dimensi
orientasi wirausaha yaitu kecenderungan proaktif dapat memberikan kemampuan
bagi perusahaan untuk mengantisipasi perubahan atau kebutuhan pasar dan menjadi
pihak yang pertama kali bertindak, dan yang pertama kali maju mencapai kinerja
yang superior.
Berdasarkan
pembahasan di atas, orientasi wirausaha yang dimiliki oleh suatu masyarakat
dapat berperan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Semangat yang pantang
menyerah serta kemampuan inovasi yang dimiliki memiliki kontribusi bagi
perbaikan kondisi kesejahteraannya. Hal ini membuktikan bahwa individu atau
masyarakat dengan etos kerja yang tinggi akan dapat merubah kondisi
kesejahteraannya baik secara mandiri maupun secara berkelompok.
No comments:
Post a Comment