Thursday 23 April 2020

Peran Orientasi Wirausaha Dalam Kesejahteraan Masyarakat

Jiwa wirausaha seseorang dapat tumbuh dari dalam dirinya atau dari pengaruh dari luar seperti keluarga, lingkungan dan masyarakat. Merujuk pada pendapat JG. Burch (1988) wirausaha adalah seorang yang selalu mencari perubahan berusaha mengikuti dan menyediakan pada perubahan itu serta memanfaatkan sebagai peluang. Selain itu ada 9 pokok lain yang terbentuk oleh dorongan untuk mencapai keberhasilan dan tidak merupakan ciri-ciri  pribadi. Ciri-ciri tersebut adalah: (a). dorongan berprestasi. (b) bekerja keras, (c) memperhatikan kualitas, (d) sangat bertanggung jawab, (e) berorientasi pada imbalan, (f) optimis, (g) berorientasi pada hasil karya yang baik, (h) berorientasi pada uang.

Berdasarkan pendapat di atas, ciri-ciri tersebut di atas, dapat diketahui tinggi rendahnya kadar kewirausahaan seseorang akan timbul jika pada diri seseorang tersebut dalam perjalanan kedewasaannya mengalami akumulasi  catatan mental (mental notes) yang membanggakan. Dalam kaitan dengan hal ini Prasetyo Admosutejo mengatakan bahwa seseorang wirausaha harus dapat mengembangkan kejuangan, kemandirian, kreatifitas, serta membanggakan untuk menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

Dalam konteks yang lebih luas, peran budaya dalam wirausaha dapat juga dilihat dari kondisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang memberikan gambaran entang etos manusianya. Pada konteks masyarakat Bali, dimana pengaruh budaya  dalam mendorong jiwa wirausaha masyarakat yang diantaranya ditandai dengan etos pembangunan manusia. Pembangunan manusia sebagai modal dasar bagi pembangunan perekonomian suatu wilayah. Model pembangunan manusia menurut UNDP (1990) ditujukan untuk memperluas pilihan yang dapat dicapai melalui upaya pemberdayaan penduduk melalui peningkatan kemampuan dasar manusia. UNDP melakukan pengukuran kinerja pembangunan manusia melalui suatu ukuran tunggal dan sederhana yang diberi nama Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks tersebut memuat tiga aspek, yaitu kesehatan, pendidikan/ketrampilan, dan pendapatan yang memungkinkan untuk hidup layak. Penggunaan indeks ini cukup memadai, karena dapat merefleksikan sampai sejauh mana upaya dan kebijakan yang dilakukan dalam kerangka pembangunan manusia di suatu wilayah.

Jiwa kewirausahaan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor sikap kejuangan, kemandirian, kreatifitas, sikap inovatif, motivasi kerja dan sebagainya. Sikap inovatif dan motivasi kerja pada seseorang terkadang timbul dari nilai-nilai budaya yang dianut. Dalam nilai-nilai budaya terdapat budaya yang memandang harus aktif, sangat berperan dalam pembangunan, khususnya jiwa wirausaha penduduk. Penduduk dalam hal menghadapi hidup ini sebagai tantangan yang harus dihadapi secara aktif. Tidak saja menyerah terhadap keadaan yang menimpa seseorang, tetapi orang harus berusaha secara aktif untuk mengubah keadaan yang dialaminya.

Orang harus bergerak mengatasi segala kesulitan termasuk kesulitan di bidang ekonomi  untuk mendapatkan penghasilan orang  tidak harus  mengenal menyerah pada nasib. Namun orang harus selalu berpedoman bahwa nasib adalah hasil usaha orang mencapai tujuan. Jadi orientasi nilai budaya penduduk yang menganggap hidup selalu aktif akan berperan terhadap jiwa wirausaha penduduk. Semangat dan keinginan untuk mengambil kesempatan usaha serta kemauan untuk bekerja di lapangan kerja yang tersedia merupakan salah satu jalur (lintasan) dan faktor pemungkin untuk terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Sahoo dan Dash, 2008). Di lain sisi, keinginan dan kemauan masyarakat ini akan sangat ditentukan oleh orientasi wirausaha masing-masing individu masyarakat yang dipengaruhi pula oleh nilai-nilai budaya yang dianutnya, dengan tiga penciri utama dari orientasi wirausaha adalah inovasi, pengambilan risiko, dan proaktif (Covin dan Slevin, 1991; Miller et. al, 1982; Miller dan Peter, 1982).

Kajian Keh et. al. (2007) menunjukan bahwa orientasi wirausaha memegang peranan penting dalam meningkatkan kinerja usaha. Sedangkan Miller dan Fneseri (1982) mengungkapkan bahwa orientasi wirausaha menjadi suatu makna yang dapat diterima untuk menjelaskan kinerja usaha. Orientasi wirausaha mengacu pada proses, praktik, dan pengambilan keputusan yang mendorong ke arah input baru dan mempunyai tiga aspek kewirausahaan, yaitu berani mengambil risiko, bertindak secara proaktif dan selalu inovatif (Lumpkin dan Dess, 1996). Berani mengambil risiko merupakan sikap wirausahawan yang melibatkan kesediaannya untuk mengikat sumber daya dan berani menghadapi tantangan dengan melakukan eksploitasi atau terlibat dalam strategi bisnis dimana kemungkinan hasilnya penuh ketidakpastian (Keh et al., 2002).

Proaktif mencerminkan kesediaan wirausaha untuk mendominasi pesaing melalui suatu kombinasi dan gerak agresif dan proaktif, seperti memperkenalkan produksi baru atau jasa di atas kompetisi dan aktivitas untuk rnengantisipasi permintaan mendatang untuk menciptakan perubahan dan membentuk lingkungan. Inovatif mengacu pada suatu sikap wirausahawan untuk terlibat secara kreatif dalam proses percobaan terhadap gagasan baru yang memungkinkan menghasilkan metode produksi baru sehingga menghasilkan produk atau jasa baru, baik untuk pasar sekarang maupun ke pasar baru.

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Wiklund (1999) yang mengatakan bahwa orientasi wirausaha yang tinggi berhubungan erat dengan penggerak utama keuntungan sehingga seorang wirausahawan mempunyai kesempatan untuk mengambil keuntungan dan munculnya peluang-peluang tersebut, yang pada akhirnya berpengaruh positif terhadap kinerja usaha. Sementara itu, menurut Covin dan Slevin (1991); Smart dan Conant (1994): Wiklund (1999), menyatakan bahwa orientasi wirausaha yang semakin tinggi dapat meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memasarkan produknya menuju kinerja usaha yang lebih baik. Oleh sebab itu, perusahaan yang semakin inovatif, proaktif, dan berani untuk mengambil risiko cenderung mampu untuk berkinerja usaha yang lebih baik.

Hasil penelitian Zahra (1991); Zahra & Covin (1995) membuktikan hubungan yang positif dengan pertumbuhan penjualan. Sementara itu, Covin & Slevin (1989) dalam penelitiannya melaporkan adanya hubungan yang positif antara postur wirausaha (risk taking, inovasi produk, dan agresitivitas atau pendirian kompetitif yang proaktif dari manajemen puncak) dengan kinerja perusahaan.

Smart & Conan (1994), Zahra (1993) dan Wiklund (1999) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang kuat antara orientasi wirausaha dengan profitabilitas dan perolehan penghasilan perusahaan. Lumpkin & Dess (2001) yang menyatakan bahwa salah satu dimensi orientasi wirausaha yaitu kecenderungan proaktif dapat memberikan kemampuan bagi perusahaan untuk mengantisipasi perubahan atau kebutuhan pasar dan menjadi pihak yang pertama kali bertindak, dan yang pertama kali maju mencapai kinerja yang superior.

Berdasarkan pembahasan di atas, orientasi wirausaha yang dimiliki oleh suatu masyarakat dapat berperan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Semangat yang pantang menyerah serta kemampuan inovasi yang dimiliki memiliki kontribusi bagi perbaikan kondisi kesejahteraannya. Hal ini membuktikan bahwa individu atau masyarakat dengan etos kerja yang tinggi akan dapat merubah kondisi kesejahteraannya baik secara mandiri maupun secara berkelompok.

 

 


No comments:

Post a Comment

Pendakian Gunung Lemongan

  Kali ini saya mendaki Gunung Lemongan yang berada di dua kabupaten yaitu Lumajang dan Probolinggo. Saya mengambil jalur Klakah - Lumajang ...