Tuesday 28 April 2020

Kesejahteraan Masyarakat

Kesejahteraan merupakan salah satu hal yang menjadi  pencapaian dari tujuan hidup manusia. Kesejahteraan merupakan perwujudan tingkat pemenuhan utilitas seluruh masyarakat dalam suatu perekonomian, yang besarnya tergantung dari kesejahteraan yang diterima oleh masing-masing individi (Sen, 2002).  Selanjutnya, Sen mengatakan bahwa welfare economics merupakan suatu  proses rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan. Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat kehidupan (levels of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs fulfillment), kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia (human development).

Selanjutnya Sen, A. (2002) lebih memilih capability approach di dalam menentukan standard hidup. Sen mengatakan: the freedom or ability to achieve desirable “functionings” is more importance than actual outcomes. Nicholson (1992), mengemukakan prinsipnya mengenai kesejahteraan sosial; yaitu keadaan kesejahteraan sosial maksimum tercapai bila tidak ada seorangpun yang dirugikan.

Sementara itu Bornstein dalam Swasono, mengajukan “ performance criteria “ untuk sosial welfare dengan batasan- batasan yang meliputi; output, growth, efficiency, stability, security, inequality, dan freedom, yang harus dikaitkan dengan suatu sosial preference (Swasono 2004).

Sedangkan Etzioni, A. (1999), mengatakan bahwa privacy is a societal licence, yang artinya privacy orang-perorangan adalah suatu mandated privacy dari masyarakat, dalam arti privacy terikat oleh kaidah sosial. Dengan demikian kedudukan individu adalah sebagai makhluk sosial yang harus ditonjolkan dalam ilmu ekonomi utamanya dalam pembangunan ekonomi yang bertujuan menuju kesejahteraan masyarakat.

Menurut Dwi Heru Sukoco (1995), kesejahteraan sosial mencakup semua bentuk intervensi sosial yang secara pokok dan langsung untuk meningkatkan keadaan yang baik antara individu dan masyarakat secara keseluruan. Kesejahteraan sosial mencakup semua tindakan dan proses secara langsung yang mencakup tindakan dan pencegahan masalah sosial, pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas hidup. Sementara itu, menurut Suparlan (2006), kesejahteraan sosial, menandakan keadaan sejahtera pada umumnya, yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah, dan sosial dan bukan hanya perbaikan dan pemberantasan keburukan sosial tertentu saja, jadi merupakan suatu keadaan dan kegiatan.

Menurut Walter A. Friedlander (1961) kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya secara selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.

Sementara itu, dalam pasal 1 UU  No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial juga dijelaskan pengertian kesejahteraan sosial sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan dasar manusia berupa material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Kebutuhan dasar tersebut berupa kecukupan dan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti lingkungan yang bersih, aman dan nyaman. Juga terpenuhinya hak asasi dan partisipasi serta terwujudnya masyarakat beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun sulit diberi pengertian, namun  kesejahteraan memiliki beberapa kata kunci yaitu terpenuhi kebutuhan dasar, makmur, sehat, damai dan selamat, beriman dan bertaqwa. Untuk mencapai kesejahteraan itu manusia  melakukan berbagai macam usaha, misalnya di bidang  pertanian, perdagangan, pendidikan, kesehatan serta keagamaan, pertahanan-keamanan dan sebagainya.

Kesejahteraan dibedakan menjadi fisik  dan non fisik. Namun, mengukur kesejahteraan, terutama kesejahteraan batin/spiritual, bukanlah yang mudah. Kesejahteraan yang bersifat lahir yang biasa dikenal dengan kesejahteraan  ekonomi lebih mudah diukur daripada kesejahteraan batin. Ukuran kesejahteraan lebih kompleks dari kemiskinan. Kesejahteraan harus dapat memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kerohanian. Kesejahteraan dapat diraih jika seseorang dapat mengakses pekerjaan, pendapatan, pangan, pendidikan, tempat tinggal, kesehatan, dan lainnya.

Dalam pasal 3 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dijelaskan mengenai asas dan tujuan dilakukannya peningkatan kesejahteraan, antara lain; “penyelenggaraan kesejahteraan bertujuan : (1) meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup; (2) memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian; (3) meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam menangani dan mencegah masalah kesejahteraan sosial; (4) meningkatakan kemampuan, kepedulian, dan tanggung jawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; (5) meningkatkan kualitas manajemen penyelenggara kesejahteraan sosial”.

Kesejahteraan itu sendiri merupakan fungsi dari seluruh utilitas individu sebagai anggota masyarakat dalam suatu perekonomian. Utilitas masing-masing individu merupakan fungsi dari berbagai konsumsi atas barang. Kesejahteraan sosial dianggap meningkat jika, paling tidak, ada satu individu yang mengalami peningkatan kesejahteraan dimana individu lainnya tidak mengalami penurunan tingkat kesejahteraan. Dari sini, langkah awal untuk melihat kesejahteraan masyarakat adalah pengukuran terhadap kesejahteraan individu.

Salah satu konsep kesejahteraan diajukan oleh Nasikun (1993). Menurutnya, konsep kesejahteraan dirumuskan sebagai padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empat indikator yaitu: Rasa aman (security), Kesejahteraan (welfare), Kebebasan (freedom), dan jati diri (Identity). Menurut Kolle (1989), kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan, yaitu (1) Dengan melihat kualitas hidup dari segi materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagainya; (2) Dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan sebagainya; (3) Dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya; dan (4) Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian, dan sebagainya.


Thursday 23 April 2020

Peran Orientasi Wirausaha Dalam Kesejahteraan Masyarakat

Jiwa wirausaha seseorang dapat tumbuh dari dalam dirinya atau dari pengaruh dari luar seperti keluarga, lingkungan dan masyarakat. Merujuk pada pendapat JG. Burch (1988) wirausaha adalah seorang yang selalu mencari perubahan berusaha mengikuti dan menyediakan pada perubahan itu serta memanfaatkan sebagai peluang. Selain itu ada 9 pokok lain yang terbentuk oleh dorongan untuk mencapai keberhasilan dan tidak merupakan ciri-ciri  pribadi. Ciri-ciri tersebut adalah: (a). dorongan berprestasi. (b) bekerja keras, (c) memperhatikan kualitas, (d) sangat bertanggung jawab, (e) berorientasi pada imbalan, (f) optimis, (g) berorientasi pada hasil karya yang baik, (h) berorientasi pada uang.

Berdasarkan pendapat di atas, ciri-ciri tersebut di atas, dapat diketahui tinggi rendahnya kadar kewirausahaan seseorang akan timbul jika pada diri seseorang tersebut dalam perjalanan kedewasaannya mengalami akumulasi  catatan mental (mental notes) yang membanggakan. Dalam kaitan dengan hal ini Prasetyo Admosutejo mengatakan bahwa seseorang wirausaha harus dapat mengembangkan kejuangan, kemandirian, kreatifitas, serta membanggakan untuk menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

Dalam konteks yang lebih luas, peran budaya dalam wirausaha dapat juga dilihat dari kondisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang memberikan gambaran entang etos manusianya. Pada konteks masyarakat Bali, dimana pengaruh budaya  dalam mendorong jiwa wirausaha masyarakat yang diantaranya ditandai dengan etos pembangunan manusia. Pembangunan manusia sebagai modal dasar bagi pembangunan perekonomian suatu wilayah. Model pembangunan manusia menurut UNDP (1990) ditujukan untuk memperluas pilihan yang dapat dicapai melalui upaya pemberdayaan penduduk melalui peningkatan kemampuan dasar manusia. UNDP melakukan pengukuran kinerja pembangunan manusia melalui suatu ukuran tunggal dan sederhana yang diberi nama Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks tersebut memuat tiga aspek, yaitu kesehatan, pendidikan/ketrampilan, dan pendapatan yang memungkinkan untuk hidup layak. Penggunaan indeks ini cukup memadai, karena dapat merefleksikan sampai sejauh mana upaya dan kebijakan yang dilakukan dalam kerangka pembangunan manusia di suatu wilayah.

Jiwa kewirausahaan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor sikap kejuangan, kemandirian, kreatifitas, sikap inovatif, motivasi kerja dan sebagainya. Sikap inovatif dan motivasi kerja pada seseorang terkadang timbul dari nilai-nilai budaya yang dianut. Dalam nilai-nilai budaya terdapat budaya yang memandang harus aktif, sangat berperan dalam pembangunan, khususnya jiwa wirausaha penduduk. Penduduk dalam hal menghadapi hidup ini sebagai tantangan yang harus dihadapi secara aktif. Tidak saja menyerah terhadap keadaan yang menimpa seseorang, tetapi orang harus berusaha secara aktif untuk mengubah keadaan yang dialaminya.

Orang harus bergerak mengatasi segala kesulitan termasuk kesulitan di bidang ekonomi  untuk mendapatkan penghasilan orang  tidak harus  mengenal menyerah pada nasib. Namun orang harus selalu berpedoman bahwa nasib adalah hasil usaha orang mencapai tujuan. Jadi orientasi nilai budaya penduduk yang menganggap hidup selalu aktif akan berperan terhadap jiwa wirausaha penduduk. Semangat dan keinginan untuk mengambil kesempatan usaha serta kemauan untuk bekerja di lapangan kerja yang tersedia merupakan salah satu jalur (lintasan) dan faktor pemungkin untuk terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Sahoo dan Dash, 2008). Di lain sisi, keinginan dan kemauan masyarakat ini akan sangat ditentukan oleh orientasi wirausaha masing-masing individu masyarakat yang dipengaruhi pula oleh nilai-nilai budaya yang dianutnya, dengan tiga penciri utama dari orientasi wirausaha adalah inovasi, pengambilan risiko, dan proaktif (Covin dan Slevin, 1991; Miller et. al, 1982; Miller dan Peter, 1982).

Kajian Keh et. al. (2007) menunjukan bahwa orientasi wirausaha memegang peranan penting dalam meningkatkan kinerja usaha. Sedangkan Miller dan Fneseri (1982) mengungkapkan bahwa orientasi wirausaha menjadi suatu makna yang dapat diterima untuk menjelaskan kinerja usaha. Orientasi wirausaha mengacu pada proses, praktik, dan pengambilan keputusan yang mendorong ke arah input baru dan mempunyai tiga aspek kewirausahaan, yaitu berani mengambil risiko, bertindak secara proaktif dan selalu inovatif (Lumpkin dan Dess, 1996). Berani mengambil risiko merupakan sikap wirausahawan yang melibatkan kesediaannya untuk mengikat sumber daya dan berani menghadapi tantangan dengan melakukan eksploitasi atau terlibat dalam strategi bisnis dimana kemungkinan hasilnya penuh ketidakpastian (Keh et al., 2002).

Proaktif mencerminkan kesediaan wirausaha untuk mendominasi pesaing melalui suatu kombinasi dan gerak agresif dan proaktif, seperti memperkenalkan produksi baru atau jasa di atas kompetisi dan aktivitas untuk rnengantisipasi permintaan mendatang untuk menciptakan perubahan dan membentuk lingkungan. Inovatif mengacu pada suatu sikap wirausahawan untuk terlibat secara kreatif dalam proses percobaan terhadap gagasan baru yang memungkinkan menghasilkan metode produksi baru sehingga menghasilkan produk atau jasa baru, baik untuk pasar sekarang maupun ke pasar baru.

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Wiklund (1999) yang mengatakan bahwa orientasi wirausaha yang tinggi berhubungan erat dengan penggerak utama keuntungan sehingga seorang wirausahawan mempunyai kesempatan untuk mengambil keuntungan dan munculnya peluang-peluang tersebut, yang pada akhirnya berpengaruh positif terhadap kinerja usaha. Sementara itu, menurut Covin dan Slevin (1991); Smart dan Conant (1994): Wiklund (1999), menyatakan bahwa orientasi wirausaha yang semakin tinggi dapat meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memasarkan produknya menuju kinerja usaha yang lebih baik. Oleh sebab itu, perusahaan yang semakin inovatif, proaktif, dan berani untuk mengambil risiko cenderung mampu untuk berkinerja usaha yang lebih baik.

Hasil penelitian Zahra (1991); Zahra & Covin (1995) membuktikan hubungan yang positif dengan pertumbuhan penjualan. Sementara itu, Covin & Slevin (1989) dalam penelitiannya melaporkan adanya hubungan yang positif antara postur wirausaha (risk taking, inovasi produk, dan agresitivitas atau pendirian kompetitif yang proaktif dari manajemen puncak) dengan kinerja perusahaan.

Smart & Conan (1994), Zahra (1993) dan Wiklund (1999) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang kuat antara orientasi wirausaha dengan profitabilitas dan perolehan penghasilan perusahaan. Lumpkin & Dess (2001) yang menyatakan bahwa salah satu dimensi orientasi wirausaha yaitu kecenderungan proaktif dapat memberikan kemampuan bagi perusahaan untuk mengantisipasi perubahan atau kebutuhan pasar dan menjadi pihak yang pertama kali bertindak, dan yang pertama kali maju mencapai kinerja yang superior.

Berdasarkan pembahasan di atas, orientasi wirausaha yang dimiliki oleh suatu masyarakat dapat berperan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Semangat yang pantang menyerah serta kemampuan inovasi yang dimiliki memiliki kontribusi bagi perbaikan kondisi kesejahteraannya. Hal ini membuktikan bahwa individu atau masyarakat dengan etos kerja yang tinggi akan dapat merubah kondisi kesejahteraannya baik secara mandiri maupun secara berkelompok.

 

 


Thursday 16 April 2020

Etos Kerja

Etos dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial, sedangkan etos kerja diartikan sebagai semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Etos kerja merupakan sikap yang tertanam dalam diri untuk senantiasa menghayati dan menghargai suatu pekerjaan dengan terus meningkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu.

Etos kerja merupakan salah satu dimensi dari budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Keberadaan etos kerja dapat diukur dengan tinggi rendah, kuat (keras) atau lemah. Menurut Chong dan Tai dalam Wirawan (2007), etos kerja sebagai “work ethic belief system pertahins to ideas that stress individualism/independence and the positive effect of work on individuals. Work is thus considered good in itself because it dignifies a person. Making personal effort to work hard will ensure success” (Etos kerja mengenai ide yang menekankan individualisme atau independensi dan pengaruh positif bekerja terhadap individu. Bekerja dianggap baik karena dapat meningkatkan derajat kehidupan serta status sosial seseorang. Berupaya bekerja keras akan memastikan kesuksesan).

Sementara Sinamo (2005) menyatakan bahwa etos kerja adalah seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada kedasaran yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total pada paradigma kerja yang integral. Istilah paradigma di sini berarti konsep utama tentang kerja itu sendiri yang mencakup idealisme yang mendasari, prinsip-prinsip yang mengatur, nilai-nilai yang menggerakkan, sikap-sikap yang dilahirkan, standar-standar yang hendak dicapai; termasuk karakter utama, pikiran dasar, kode etik, kode moral, dan kode perilaku bagi para pemeluknya.

Etos kerja merupakan bagian penting yang menentukan suatu keberhasilan seseorang. Suatu keberhasilan bukan hanya ditentukan karena adanya pengetahuan dan kemampuan menggunakan akal pikiran tapi juga kemampuan untuk mengarahkannya pada kebaikan, baik secara individu ataupun kelompok. Etos kerja yang melekat pada setiap individu, menentukan keberhasilannya. Bahwa keberhasilnya yang diraih seseorang ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diterapkannya di dalam masyarakat atau dalam konteks sosial. Arti penting dari etos kerja terletak pada perannya dalam menentukan keberhasilan seseorang.

Etos kerja dengan demikian sangat bergantung pada sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi dan sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki etos kerja. Etos kerja seseorang erat kaitannya dengan kepribadian, perilaku, dan karakternya. Setiap orang memiliki internal being yang merumuskan siapa dia. Selanjutnya internal being menetapkan respon, atau reaksi terhadap tuntutan external. Respon internal being terhadap tuntutan external dunia kerja menetapkan etos kerja seseorang (Siregar, 2000).

 


Pendakian Gunung Lemongan

  Kali ini saya mendaki Gunung Lemongan yang berada di dua kabupaten yaitu Lumajang dan Probolinggo. Saya mengambil jalur Klakah - Lumajang ...