Kesejahteraan merupakan salah satu hal
yang menjadi pencapaian dari tujuan
hidup manusia. Kesejahteraan merupakan perwujudan tingkat pemenuhan utilitas
seluruh masyarakat dalam suatu perekonomian, yang besarnya tergantung dari
kesejahteraan yang diterima oleh masing-masing individi (Sen, 2002). Selanjutnya, Sen mengatakan bahwa welfare
economics merupakan suatu proses
rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan.
Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat kehidupan
(levels of living), pemenuhan
kebutuhan pokok (basic needs fulfillment),
kualitas hidup (quality of life) dan
pembangunan manusia (human development).
Selanjutnya
Sen, A. (2002) lebih memilih capability
approach di dalam menentukan standard hidup. Sen mengatakan: the freedom or ability to achieve desirable
“functionings” is more importance than actual outcomes. Nicholson (1992),
mengemukakan prinsipnya mengenai kesejahteraan sosial; yaitu keadaan kesejahteraan
sosial maksimum tercapai bila tidak ada seorangpun yang dirugikan.
Sementara
itu Bornstein dalam Swasono, mengajukan “ performance criteria “ untuk sosial
welfare dengan batasan- batasan yang meliputi; output, growth, efficiency, stability, security, inequality, dan
freedom, yang harus dikaitkan dengan suatu sosial preference (Swasono
2004).
Sedangkan
Etzioni, A. (1999), mengatakan bahwa privacy is a societal licence, yang
artinya privacy orang-perorangan adalah suatu mandated privacy dari masyarakat, dalam arti privacy terikat oleh
kaidah sosial. Dengan demikian kedudukan individu adalah sebagai makhluk sosial
yang harus ditonjolkan dalam ilmu ekonomi utamanya dalam pembangunan ekonomi
yang bertujuan menuju kesejahteraan masyarakat.
Menurut Dwi Heru
Sukoco (1995), kesejahteraan sosial mencakup semua bentuk intervensi sosial
yang secara pokok dan langsung untuk meningkatkan keadaan yang baik antara
individu dan masyarakat secara keseluruan. Kesejahteraan sosial mencakup semua
tindakan dan proses secara langsung yang mencakup tindakan dan pencegahan
masalah sosial, pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas
hidup. Sementara itu, menurut Suparlan
(2006), kesejahteraan sosial, menandakan keadaan sejahtera pada umumnya, yang
meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah, dan sosial dan bukan hanya perbaikan dan
pemberantasan keburukan sosial tertentu saja, jadi merupakan suatu keadaan dan
kegiatan.
Menurut Walter A.
Friedlander (1961) kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari
pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu
individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan
dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan
kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya secara selaras
dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.
Sementara itu,
dalam pasal 1 UU No. 11 tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial juga dijelaskan pengertian kesejahteraan sosial
sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan dasar manusia berupa material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Kebutuhan dasar
tersebut berupa kecukupan dan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan,
pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti lingkungan
yang bersih, aman dan nyaman. Juga terpenuhinya hak asasi dan partisipasi serta
terwujudnya masyarakat beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun
sulit diberi pengertian, namun
kesejahteraan memiliki beberapa kata kunci yaitu terpenuhi kebutuhan
dasar, makmur, sehat, damai dan selamat, beriman dan bertaqwa. Untuk mencapai
kesejahteraan itu manusia melakukan
berbagai macam usaha, misalnya di bidang
pertanian, perdagangan, pendidikan, kesehatan serta keagamaan,
pertahanan-keamanan dan sebagainya.
Kesejahteraan
dibedakan menjadi fisik dan non fisik.
Namun, mengukur kesejahteraan, terutama kesejahteraan batin/spiritual, bukanlah
yang mudah. Kesejahteraan yang bersifat lahir yang biasa dikenal dengan
kesejahteraan ekonomi lebih mudah diukur
daripada kesejahteraan batin. Ukuran kesejahteraan lebih kompleks dari
kemiskinan. Kesejahteraan harus dapat memenuhi kebutuhan fisik, psikologis,
sosial, dan kerohanian. Kesejahteraan dapat diraih jika seseorang dapat
mengakses pekerjaan, pendapatan, pangan, pendidikan, tempat tinggal, kesehatan,
dan lainnya.
Dalam pasal 3 ayat
2 UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dijelaskan mengenai asas
dan tujuan dilakukannya peningkatan kesejahteraan, antara lain;
“penyelenggaraan kesejahteraan bertujuan : (1) meningkatkan taraf
kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup; (2) memulihkan fungsi sosial
dalam rangka mencapai kemandirian; (3) meningkatkan ketahanan sosial masyarakat
dalam menangani dan mencegah masalah kesejahteraan sosial; (4) meningkatakan
kemampuan, kepedulian, dan tanggung jawab sosial dunia usaha dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; (5)
meningkatkan kualitas manajemen penyelenggara kesejahteraan sosial”.
Kesejahteraan itu
sendiri merupakan fungsi dari seluruh utilitas individu sebagai anggota
masyarakat dalam suatu perekonomian. Utilitas masing-masing individu merupakan
fungsi dari berbagai konsumsi atas barang. Kesejahteraan sosial dianggap
meningkat jika, paling tidak, ada satu individu yang mengalami peningkatan
kesejahteraan dimana individu lainnya tidak mengalami penurunan tingkat
kesejahteraan. Dari sini, langkah awal untuk melihat kesejahteraan masyarakat adalah
pengukuran terhadap kesejahteraan individu.
Salah satu konsep
kesejahteraan diajukan oleh Nasikun (1993). Menurutnya, konsep kesejahteraan
dirumuskan sebagai padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat
dilihat dari empat indikator yaitu: Rasa
aman (security), Kesejahteraan (welfare), Kebebasan (freedom), dan jati diri (Identity). Menurut Kolle (1989),
kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan, yaitu (1) Dengan
melihat kualitas hidup dari segi materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan
dan sebagainya; (2) Dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik, seperti
kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan sebagainya; (3) Dengan melihat kualitas
hidup dari segi mental, seperti fasilitas pendidikan, lingkungan budaya, dan
sebagainya; dan (4) Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual, seperti
moral, etika, keserasian penyesuaian, dan sebagainya.