1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam paradigma pembangunan
ekonomi, perubahan kesejahteraan masyarakat merupakan bagian yang tidak
terpisahkan. Hal ini dikarenakan pembangunan ekonomi dikatakan berhasil jika
tingkat kesejahteraan masyarakat semakin baik. Keberhasilan pembangunan ekonomi
tanpa menyertakan peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan
kesenjangan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Kesejahteraan
masyarakat adalah suatu kondisi yang memperlihatkan tentang keadaan kehidupan
masyarakat yang dapat dilihat dari standar kehidupan masyarakat (Badrudin, 2012).
Kerajinan
industri kayu di Provinsi Bali telah ada sejak tahun 1980-an, dan mengalami puncak
kejayaan di tahun 2003 dengan kenaikan mencapai 20,9 persen seiring
berkembangnya industri pariwisata di Bali. Potensi kerajinan kayu di Bali sebagian
besar merupakan usaha pribadi.
Hal ini menunjukkan minat masyarakat di kabupaten/kota di Bali dalam wirausaha di
bidang kerajinan kayu cukup tinggi dan membuka peluang usaha bagi masyarakat
lainnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengembangan usaha industri kerajinan kayu di
Provinsi Bali banyak ditemukan kendala
seperti
banyak pengusaha industri kayu tidak memiliki hak paten atas produk kerajinan, sulitnya mencari
pasokan bahan baku di Bali, dan lemahnya sistem pemasaran hasil produksi.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan terhadap
kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; menganalisis pengaruh infrastruktur pembangunan,
budaya, orientasi kewirausahaan dan
kinerja usaha terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di
Provinsi Bali; menganalisis pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan
terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu melalui mediasi
kinerja usaha di Provinsi Bali; dan untuk menganalisis pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap
kinerja usaha pengusaha industri kayu melalui faktor kontekstual di
Provinsi Bali.
1.2 Landasan Teori
a.
Infrastruktur
Pembangunan
Infrastruktur
merupakan driving force dalam pertumbuhan ekonomi. Perannya dalam mengembangkan
sebuah wilayah tak terbantahkan. Beberapa fakta empiris menyatakan bahwa
perkembangan kapasitas infrastruktur di suatu wilayah akan berjalan seiring
dengan perkembangan output ekonomi.
World Bank (1994) bahkan secara tegas menyatakan bahwa secara average peningkatan
stok infrastruktur sebesar 1 persen akan berasosiasi dengan peningkatan PDB
sebesar 1 persen pula. Fakta empirik ini
merupakan pernyataan yang menjanjikan sekaligus menantang (challenging) bagi semua negara untuk menindaklanjutinya melalui
meningkatkan pasokan infrastrukturnya.
World Bank (1994)
mendefinisikan infrastruktur pembangunan dalam konteks ekonomi sebagai
terminologi yang memayungi berbagai aktivitas yang terkait biaya-biaya overhead yang dikeluarkan pemerintah
untuk kepentingan-kepentingan sosial (sosial overhead capital).
Todaro (1977) menyebutkan bahwa
infrastruktur pembangunan bukan hanya bersifat fenomena semata, namun
pembangunan tersebut harus juga meliputi sisi materi dan sisi non-materi dari
kehidupan manusia. Dengan demikian infrastruktur pembangunan secara ideal
merupakan suatu proses multidimensi, yang menyertakan dimensi ekonomi, sosial,
lingkungan, dan dimensi lainnya. Secara ringkas, multi dimensi pada
proses pembangunan memiliki arti bahwa pembangunan dengan segenap aktivitasnya
harus melibatkan dimensi ekonomi dan dimensi non-ekonomi.
b.
Budaya
Konsep budaya sejak awal telah menjadi bahasan utama dalam
bidang antropologi, dan telah memperoleh perhatian dalam perkembangan awal
studi perilaku organisasi (organizational
behavior). Konsep budaya pertama kali muncul ke permukaan sebagai suatu
dimensi utama di dalam memahami perilaku organisasi sehingga banyak karya terakhir berpendapat
tentang peran kunci budaya dalam mencapai keunggulan organisasi (Schein, 2004). Budaya dan masyarakat merupakan dua buah sisi yang
tidak terpisahkan. Pemahaman yang benar terhadap suatu masyarakat akan membantu
memahami budaya masyarakat tersebut secara utuh dan benar.
Kesadaran mengenai pentingnya peranan budaya dalam sebuah
organisasi semakin mengemuka dan mendapat tempat yang semakin penting dalam
kajian ilmu manajemen. Kajian tersebut kemudian diaplikasikan dalam konteks
praktik-praktik ilmu manajemen sehingga melahirkan istilah budaya perusahaan (corporate culture) yang dalam perkembangannya
telah meluas menjadi kajian budaya organisasi (organization culture).
Hodgetts
& Luthan (2003) mengungkapkan bahwa budaya merupakan suatu pengetahuan di mana
masyarakat menggunakan pengalamannya untuk menghasilkan suatu sikap diri dan
perilaku sosial. Pengetahuan ini akan membentuk nilai-nilai, menciptakan sikap,
dan mempengaruhi perilaku masyarakat sebagai anggota masyarakat atau keluarga
masyarakat tertentu yang tidak mungkin dihindari.
Susanto, et al (2008) mendefinisikan budaya
sebagai sekumpulan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan
kapabilitas serta kebiasaan yang diperoleh sebagai anggota sebuah perkumpulan
atau komunitas tertentu. Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1997), kebudayaan
didefinisikan sebagai keseluruhan dari sistem nilai, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam kehidupan masyarakat yang diperoleh melalui proses belajar.
c.
Orientasi
Kewirausahaan
Miller dan Friesen (1982) berpendapat bahwa orientasi kewirausahaan
menjadi berbeda karena memiliki titik berat pada inovasi produk baru. Hal ini
ditandai oleh beberapa organisasi yang mempunyai kemauan berinovasi secara
berani dan regular pada pengambilan risiko yang cukup besar dalam strategi
pemasaran produknya. Kewirausahaan
adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju
kesuksesan.
Kewirausahaan
dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja perusahaan. Hal ini,
tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai mencoba bangkit
dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewirausahaan
disebut-sebut sebagai spearhead (pelopor)
untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing
tinggi.
Orientasi kewirausahaan memiliki tiga karakteristik utama,
yaitu inovasi, pengambilan risiko, dan proaktif (Covin dan Slevin, 1991; Milleret al., 1982; Miller dan Friesen, 1982).
Sementara menurut G. T. Lumpkin and Gregory G.
Dess (2008) bahwa orientasi kewirausahaan menyebutkan lima karakteristik
yaitu kemandirian, inovasi, pengambilan risiko, proaktif dan keagresifan dalam
bersaing.
d.
Kinerja
Usaha
Kinerja
merupakan gambaran mengenai sejauh mana keberhasilan atau kegagalan organisasi
dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya dalam rangka mewujudkan sasaran,
tujuan, visi, dan misinya. Dengan kata lain, kinerja merupakan prestasi yang
dapat dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu.
Menurut Mulyadi (2001: 337) Kinerja usaha adalah
keberhasilan personil, tim, atau unit organisasi dalam mewujudkan sasaran
strategik yang telah ditetapkan sebelumnya dengan perilaku yang diharapkan.
Kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan
dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang ditetapkan. Kinerja
perusahaan hendaknya merupakan hasil yang dapat diukur dan menggambarkan
kondisi empirik suatu perusahaan dari berbagai ukuran yang disepakati.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah kemampuan, usaha, dan kesempatan personel, tim, atau unit organisasi dalam melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan sasaran strategik yang telah ditetapkan. Keberhasilan pencapaian strategik yang menjadi basis pengukuran kinerja perlu ditentukan ukurannya, dan ditentukan inisiatif strategik untuk mewujudkan sasaran-sasaran tersebut. Sasaran strategik beserta ukurannya kemudian digunakan untuk menentukan target yang dijadikan basis penilaian kinerja. Oleh karena itu, pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dapat dilakukan terhadap aktivitas dari berbagai rantai nilai yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang pelaksanaan suatu rencana dimana perusahaan memerlukan penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian tersebut.
e.
Kesejahteraan
Rumah Tangga
Menurut Sen (1982)
kesejahteraan didefinisikan sebagai perwujudan tingkat pemenuhan utilitas
seluruh masyarakat dalam suatu perekonomian, yang besarnya tergantung dari
kesejahteraan yang diterima oleh masing-masing individu. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 yang merupakan amandemen Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1992, menyatakan ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi
keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan
fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk
hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.
Kesejahteraan itu
sendiri merupakan fungsi dari seluruh utilitas individu sebagai anggota
masyarakat dalam suatu perekonomian. Sedangkan utilitas masing-masing individu
merupakan fungsi dari berbagai konsumsi atas barang. Kesejahteraan sosial
dianggap meningkat jika, paling tidak, ada satu individu yang mengalami
peningkatan kesejahteraan dimana individu lainnya tidak mengalami penurunan
tingkat kesejahteraan. Dari sini, langkah awal untuk melihat kesejahteraan
masyarakat adalah pengukuran terhadap kesejahteraan individu.
Arsyad dan Sukirno
mengemukakan bahwa tingkat pendapatan perkapita tidak sepenuhnya mencerminkan
tingkat kesejahteraan karena kelemahan yang bersumber dari ketidaksempurnaan
dalam penghitungan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita dan kelemahan
yang bersumber dari kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat bukan
hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan tetapi juga faktor-faktor lain
(Badrudin: 2012).
f.
Faktor
Kontekstual
Faktor konteksual adalah faktor-faktor yang penting yang
sedang dimiliki atau dilakukan oleh pengusaha industri kecil dan menengah yang
dapat berkaitan langsung terhadap
kelangsungan hidup dari perusahaan. Faktor-faktor tersebut dapat
dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal perusahaan.
Beberapa
jenis dimensi dari faktor konteksual adalah sistem pemasaran, teknologi, akses
permodalan, akses informasi, adanya perencanaan bisnis, sikap kewiraswastaan
yang dimiliki oleh pengelola, dan bantuan yang diberikan pemerintah, dan
lain-lain.
1.3 Metode Penelitian
a.
Variabel
Penelitian
Sesuai
dengan judul disertasi ini yaitu pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya,
dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha dan kesejahteraan rumah
tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali maka didapatkan variabel eksogen
dalam penelitian ini adalah infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi
kewirausahaan, sedangkan variabel endogennya adalah kinerja usaha dan
kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu.
Kinerja
usaha disamping sebagai variabel endogen juga berfungsi sebagai variabel antara
yang memediasi pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi
kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di
Provinsi Bali. Sedangkan untuk mempertajam analisis pengaruh orientasi
kewirausahaan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali
digunakan faktor kontekstual sebagai variabel moderator.
b.
Populasi
dan Sampel
Sebagai populasi
penelitian adalah pengusaha industri kayu yang ada di masing-masing
kabupaten/kota yang datanya diambil secara langsung baik pada saat survey awal maupun penelitian di
lapangan.
Sampel
penelitian diambil di setiap
kabupaten/kota adalah perwakilan dari setiap kabupaten/kota yang akan diberikan
kuisioner untuk dimintai pendapatnya. Sampel IKM diambil sebanyak 164
pengusaha, berdasarkan rumus Slovin
(Umar, 2003) dengan derajat kesalahan (a) 5 sampai dengan 10 persen (dalam penelitian ini digunakan e
= 7.5 persen).
c.
Teknik
Pengumpulan Data
Studi ini
merupakan studi eksplanatori dengan menggunakan metode survei. Survei dilakukan
kepada 164
responden kepala rumah tangga pengrajin industri kayu
di Provinsi Bali dengan metode disproportional
random sampling.
Data dikumpulkan
secara cross section dengan menggunakan daftar pertanyaan yang
selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Model yang digunakan untuk
menguji hipotesis adalah Structural Equition Model (SEM).
d.
Teknik
Analisis Data
Metode yang digunakan untuk membedah masalah atau menguji hipotesis, dalam penelitian adalah Structural Equition Model (SEM). Model Persamaan Struktural atau Structural Equation Model (SEM) adalah
teknik-teknik statistika yang memungkinkan pengujian suatu rangkaian hubungan yang
relatif kompleks secara simultan. Hubungan yang kompleks dapat dibangun antara satu atau beberapa variabel dependen dengan
satu atau beberapa variabel
independen.
Adapun model penelitian Structural Equation Model (SEM) yang digukanan dalam penelitian ini melibatkan beberapa beberapa
variabel seperti tampak pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Model Analisis Data
dengan Structural
Equation Model (SEM)
Penggunaan SEM dalam penelitian ini didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan berikut: Fenomena yang diteliti bersifat multidemensi (multi indikator)
sehingga dibutuhkan suatu model
komprehensif yang sekaligus dapat menjadi teknik yang mampu mengakomodasi
penelitian multidimensi (Ferdinand, 2002).
Dengan demikian, SEM merupakan pendekatan
yang sangat sesuai karena mampu menganalisis secara simultan; SEM merupakan pengembangan analisis regresi. Penggunaan SEM karena
mempertimbangkan keterbatasan analisis regresi dalam penelitian multidimensi.
Regresi umumnya hanya dapat menganalisis satu hubungan pada satu waktu.
Sementara SEM sebagai perluasan dan kombinasi beberapa teknik multivariant memungkinkan melakukan pengujian serangkaian hubungan yang rumit secara
simultan;
dan SEM memungkinkan peneliti menjawab pertanyaan penelitian
yang bersifat regresif atau dimensional. Melalui SEM, peneliti dapat
mengidentifikasi beberapa dimensi sebuah konstruk sekaligus mengukur pengaruh
antar faktor yang telah diidentifikasi.
II. PEMBAHASAN
a.
Uji
Validitas Instrumen Penelitian
Berdasarkan hasil uji validitas data dengan menggunakan korelasi Product Moment dapat disimak bahwa semua instrumen atau butir-butir pertanyaan yang digunakan adalah valid. Hal ini ditunjukkan dengan signifikansi antara 0,000 dan 0,033. Mengenai korelasi skor masing-masing instrumen dengan total skor kelompok instrumen adalah antara 0,175 dan 0,902.
b.
Uji
Reliabilitas Instrumen Penelitian
Suatu instrumen penelitian dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan yang diajukan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Hasil Uji Reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1 Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian
Konstruk |
Chronbach's Alpha |
Jumlah Item |
Keterangan |
IP |
0,840 |
14 |
Reliabel |
Bud |
0,964 |
22 |
Reliabel |
OK |
0,909 |
16 |
Reliabel |
KU |
0,886 |
14 |
Reliabel |
KRT |
0,866 |
10 |
Reliabel |
FK |
0,871 |
10 |
Reliabel |
Hasil output PLS mengenai convergent
validity seperti tersaji pada Tabel di atas dapat diketahui bahwa semua
indikator yang membentuk konstruk dalam penelitian ini secara statistik adalah
signifikan dengan nilai t-hitung lebih besar dari 1,96 dengan p-value
sebesar 0,0000. Demikian juga nilai loading semua di atas 0,05 yang
berarti bahwa konstruk yang dibuat telah memenuhi syarat convergent validity.
c.
Uji
Outer Model
Uji Outer Model pada penelitian ini terdiri dari uji Convergent Validity, Discriminant Validity
dan Cross Loading Indikator.
Hasil uji converget validity diperoleh hasil bahwa semua indikator yang membentuk konstruk dalam
penelitian ini secara statistik adalah signifikan dengan nilai t-hitung lebih
besar dari 1,96 dengan p-value
sebesar 0,0000. Demikian juga nilai loading
semua di atas 0,05 yang berarti bahwa konstruk yang dibuat telah memenuhi
syarat convergent validity.
Uji discriminant validity dengan pengolahan data Smart PLS 3.0 dapat
dikatakan sudah terpenuhi dengan baik dengan melihat nilai cross loading pada masing-masing konstruknya (nilai yang dicetak
tebal) lebih tinggi dibandingkan dengan konstruk lainnya.
Kelayakan konstruk yang dibuat juga dapat
dilihat dari discriminant validity
melalui Average Variance Extracted (AVE),
Composite Reliability (CD) yang umumnya digunakan untuk indikator reflektif
dan bertujuan untuk mengukur konsistensi internal suatu konstruk, dan Cronbach’s Alpha. Hasil olahan datanya
disajikan pada Tabel 2 berikut.
Indikator |
Average Variance Extracted (AVE) |
Composite Reliability |
Cronbach’s Alpha |
BUD |
0.450 |
0.797 |
0.686 |
FK |
0.582 |
0.871 |
0.810 |
IP |
0.587 |
0.876 |
0.821 |
KRT |
0.635 |
0.896 |
0.855 |
KU |
0.687 |
0.898 |
0.849 |
Moderating Effect |
0.474 |
0.934 |
0.929 |
OK |
0.605 |
0.834 |
0.836 |
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa semua indikator memiliki nilai average variance extracted lebih tinggi dari 0,50 kecuali BUD dan Moderating Effect. Indikator budaya diperoleh nilai 0,450 dan Moderating Effect 0.474 lebih tinggi dari 0,40 seperti yang disyaratkan oleh (Lai dan Fan, 2008) dan (Vinzi, at al, 2010). Untuk nilai composite reliability (CR) seluruh indikator memiliki nilai lebih tinggi dari 0,70 dan nilai chronbach’s alpha senilai di atas 0,60.
d.
Uji
Inner Model
Pengujian Inner Model dengan menggunakan PLS-SEM bertujuan untuk menyajikan koefisien determinasi R2 yang memberikan informasi seberapa besar variasi nilai dari variabel independen dapat memberikan dampak atas perubahan variabel dependen yang disertakan dalam penelitian ini. Tabel 3 menampilkan nilai R2 dari masing-masing variabel dependen pada penelitian ini.
Tabel 3 Nilai R-Square
Konstruk
Dependen |
Nilai R2 |
Keterangan |
Kinerja Usaha (KU) |
0,423 |
Hubungan Moderat |
Kesejahteraan Rumah Tangga (KRT) |
0,864 |
Hubungan kuat |
Pada tabel 3
terlihat bahwa hasil olahan data dengan PLS-SEM diperoleh nilai R2 =
0,423 untuk variabel kinerja usaha (KU) dan R2 = 0,864 untuk
variabel kesejahteraan rumah tangga (KRT). Nilai R2 yang diperoleh
untuk variabel kinerja usaha maupun variabel kesejahteraan rumah tangga seperti
penjelasan di atas tergolong moderat dan kuat, maka dapat dikatakan bahwa
variabel dependen dalam penelitian ini memiliki informasi yang relatif memadai.
e.
Uji
Hipotesis
Untuk mengetahui pengaruh langsung antar variabel dapat dilihat dari hasil analisis path coefficients yang ditampilkan pada Tabel 4
Tabel 4 Pengaruh Langsung Antar Variabel Penelitian
Variabel |
Original Sample (O) |
Sample Mean (M) |
Standard Deviation (STDEV) |
T Statistics (|O/STDEV|) |
P Values |
BUD --> KRT |
0.237 |
0.235 |
0.041 |
5,764 |
0.000 |
BUD --> KU |
0.180 |
0.168 |
0.077 |
2,347 |
0.019 |
FK --> KU |
0.236 |
0.250 |
0.100 |
2,351 |
0.019 |
IP --> KRT |
0.348 |
0.349 |
0.051 |
6,818 |
0.000 |
IP --> KU |
0.171 |
0.163 |
0.075 |
2,278 |
0,023 |
KU --> KRT |
0.452 |
0.443 |
0.045 |
10,005 |
0.000 |
Moderating Effect --> KU |
0.292 |
0.307 |
0.080 |
3,665 |
0.000 |
OK --> KRT |
0.299 |
0.296 |
0.040 |
7,451 |
0.000 |
OK --> KU |
0.194 |
0.205 |
0.095 |
2,052 |
0.041 |
1.
Pengaruh
langsung variabel infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi
kewirausahaan terhadap kinerja usaha
Tabel 4 menunjukkan
bahwa pengaruh infrastruktur pembangunan terhadap kinerja usaha dengan
koefisien regresi 0,171 dan signifikansi 0,023 (lebih kecil dari 0,05).
Pengaruh budaya
terhadap kinerja usaha dengan koefisien regresi 0,180 dan signifikansi 0,019
(lebih kecil dari 0,05).
Pengaruh orientasi
kewirausahaan terhadap kinerja usaha dengan koefisien regresi 0,194 dan
signifikansi 0,041 (lebih kecil dari 0,05).
Dapat disimpulkan bahwa
secara langsung pembangunan,
budaya, dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali.
2.
Pengaruh
langsung variabel infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi
kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga
Tabel 4 menunjukkan
bahwa pengaruh infrastruktur pembangunan terhadap kesejahteraan rumah tangga
dengan koefisien regresi 0,348 dan signifikansi 0,000 (lebih kecil dari 0,05).
Pengaruh budaya
terhadap kesejahteraan rumah tangga dengan koefisien regresi 0,237 dan signifikansi
0,000 (lebih kecil dari 0,05).
Pengaruh orientasi
kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga dengan koefisien regresi 0,299
dan signifikansi 0,000 (lebih kecil dari 0,05).
Dapat disimpulkan bahwa
secara tidak langsung infrastruktur
pembangunan, budaya, dan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah
tangga berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali.
3.
Pengaruh
tidak langsung variabel infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi
kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga melalui mediasi kinerja usaha
Pengaruh tidak
langsung adalah pengaruh yang diukur secara tidak langsung dari satu variabel
ke variabel lainnya melalui variabel antara (intervening rariable). Koefisien pengaruh tidak langsung ini dapat
diperoleh dari hasil pengalian kedua pengaruh langsung masing-masing variabel.
Bilamana kedua koefiosien pengaruh langsung menunjukkan hasil signifikan, maka
koefisien pengaruh tidak langsung juga akan signifikan. Sebaliknya apabila
salah satu atau kedua koefisien pengaruh langsung tidak signifikan, maka
koefisien pengaruh tidak langsung juga tidak signifikan.
Selanjutnya
untuk mengetahui pengaruh tidak langsung antar variabel laten dapat dilihat
dari hasil analisis nilai indirect effect
yang disajikan pada Tabel 5
Tabel 5. Pengaruh Tidak Langsung Antar Variabel Penelitian
Varabel |
Original
Sample (O) |
Sample
Mean (M) |
Standard
Deviation (STDEV) |
T Statistics
(|O/STDEV|) |
P Values |
BUD --> KRT |
0.081 |
0.074 |
0.034 |
2,380 |
0.018 |
BUD --> KU |
|
|
|
|
|
FK -->
KRT |
0.107 |
0.110 |
0.044 |
2,446 |
0.015 |
FK --> KU |
|
|
|
|
|
IP --> KRT |
0.077 |
0.072 |
0.034 |
2,276 |
0.023 |
IP
--> KU |
|
|
|
|
|
KU
--> KRT |
|
|
|
|
|
Moderating Effect --> KRT |
0.132 |
0.136 |
0.037 |
3,535 |
0.000 |
Moderating Effect --> KU |
|
|
|
|
|
OK
--> KRT |
0.088 |
0.091 |
0.044 |
2,012 |
0.045 |
OK
--> KU |
|
|
|
|
|
Dari tabel 5 di atas diperoleh hasil
sebagai berikut :
Pengaruh tidak langsung variabel infrastruktur
pembangunan terhadap kesejahteraan rumah tangga melalui mediasi kinerja usaha
diperoleh hasil koefisien regresi 0,077 dengan signifikansi 0,023 (lebih kecil dari 0,05).
Pengaruh tidak langsung variabel budaya
terhadap kesejahteraan rumah tangga melalui mediasi kinerja usaha diperoleh
hasil koefisien regresi 0,081 dengan signifikansi
0,018 (lebih kecil dari 0,05).
Pengaruh tidak langsung variabel orientasi
kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga melalui mediasi kinerja usaha
diperoleh hasil koefisien regresi 0,088 dengan signifikansi 0,045 (lebih kecil dari 0,05).
Dapat disimpulkan bahwa
secara tidak langsung infrastruktur
pembangunan, budaya, dan orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga melalui
mediasi kinerja usaha.
4.
Pengaruh
tidak langsung variabel orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha melalui
mediasi faktor kontekstual.
Berdasarkan tabel 5 di atas juga diperoleh
hasil pengaruh tidak langsung variabel orientasi kewirausahaan terhadap kinerja
usaha melalui mediasi faktor kontekstual dengan nilai koefisien regresi 0,132
dengan signifikansi 0,000 (lebih kecil dari 0,05).
Dapat disimpulkan bahwa
secara tidak langsung variabel
orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
usaha melalui mediasi faktor kontekstual.
f.
Pembahasan
Dari hasil uji
hipotesis seperti tersebut di atas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut.
Bahwa infrastruktur pembangunan,
budaya dan orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengrajin industri kayu di
Provinsi Bali. Artinya bahwa semakin baik infrastruktur pembangunan,
budaya dan orientasi kewirausahaan
maka semakin baik pula kinerja usaha pengrajin industri kayu di Provinsi Bali.
Bahwa infrastruktur pembangunan,
budaya dan orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengrajin industri
kayu di Provinsi Bali. Artinya
bahwa semakin baik infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan maka semakin baik pula kesejahteraan rumah
tangga pengrajin industri kayu di Provinsi Bali.
Bahwa infrastruktur pembangunan,
budaya dan orientasi kewirausahaan secara tidak langsung memiliki pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengrajin industri
kayu di Provinsi Bali, sedangkan kinerja usaha secara tidak langsung juga
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga
pengrajin industri kayu di Provinsi Bali, sehingga dapat dikatakan bahwa
kinerja usaha mampu memediasi pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya dan
orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengrajin industri
kayu di Provinsi Bali. Semakin baik kinerja usaha maka semakin mampu memberikan
efek mediasi terhadap hubungan infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi
kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengrajin industri kayu di
Provinsi Bali.
Hahwa orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengrajin industri kayu di Provinsi Bali. Demikian pula faktor kontekstual juga memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengrajin industri kayu di Provinsi Bali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor kontekstual mampu memberikan efek moderasi terhadap hubungan orientasi kewirausahaan terhada kinerja usaha pengrajin industri kayu di Provinsi Bali. Artinya semakin tinggi pengaruh faktor kontekstual terhadap kinerja usaha, maka semakin baik pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha pengrajin industri kayu di Provinsi Bali
III. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, terdapat beberapa simpulan dalam penelitian ini, bahwa 1) infrastruktur pembangunan,
budaya dan orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di
Provinsi Bali; 2) infrastruktur
pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga
pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; 3) infrastruktur pembangunan, budaya
dan orientasi kewirausahaan secara tidak langsung berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di
Provinsi Bali, sedangkan kinerja usaha secara tidak langsung juga memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha
industri kayu di Provinsi Bali; dan 4) orientasi kewirausahaan secara langsung
memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha
industri kayu di Provinsi Bali. Demikian pula faktor kontekstual juga
memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha
pengusaha industri kayu di Provinsi Bali. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa faktor kontekstual mampu memberikan efek moderasi terhadap hubungan orientasi
kewirausahaan terhada kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali.
Berdasarkan hasil wawancara
dengan salah seorang pengrajin menyebutkan bahwa : pengaruh budaya global terhadap budaya lokal tidak dapat
dihindari Oleh
sebab itu, apabila budaya lokal dapat dipertahankan atau dilestarikan, budaya
lokal harus mempertahankan cara hidup lokal, tetapi juga mengikuti proses yang
mengglobal.
Keragaman budaya yang ada/ dimiliki oleh masing-masing komunitis desa
pekraman telah memperkaya dan memberi keindahan tersendiri bagi masyarakat
Bali, untuk itu pengrajin melakukan
perubahan dengan pesanan (made
to order) dari konsumen yang umumnya mengikuti selera pasar. Para pengrajin menggunakan imajinasinya untuk berinovasi secara kreatif agar
tercipta desain - desain baru yang diproduksi.
Penelitian ini memiliki
beberapa keterbatasan diantara adalah indikator yang digunakan
belum semuanya digunakan dalam penelitian ini dalam artian masih
banyak indikator-indikator lain yang bisa diteliti untuk pengembangan
penelitian ini lebih lanjut, seperti indikator pola tindak, pola
pikir, dan pola sikap yang membentuk variabel budaya. Indikator kemiskinan,
kependudukan, dan indikator sosial lain yang membentuk variabel kesejahteraan
rumah tangga dan indikator mental kewirausahaan yang membentuk faktor
kontekstual.
DAFTAR PUSTAKA
AgĂ©nor, P. R.-D. (2009). “Publik Infrastruktur and Growth: New Channels and
Policy Implications”. Working Paper (hal. 23, No. 2, pp. 177 – 200).
World Bank Policy Research.
Apparicio, L., & Jolie, M. P. (2007). Socioeconomic evaluation of
Megaprojects. New York: Rotledge, New York.
Covin, J., & Slevin, D. (1991). A conceptual model of entrepreneurship
as firm behavior. , pp. 7-25. Entrepreneurship Theory and Practice 16 ,
7 - 25.
Hersey, P., & Blanchard, K. H. (1992). Management of Organizational
Behavior: Utilizing Human Resources, 6th ed. New Jersey: Prentice Hall,
Englewood Cliffs.
Hodgetts, R., & Luthan, F. (2003). International management,
culture, Strategy and Behavior. New York: McGraw-Hll.
Hofstede, G. G. (2010). Cultures and Organizations: Software of the
Mind, 3rd ed. London, UK: McGraw-Hill.
Koentjaraningrat. (2005). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kotter, J., & Heskett, J. L. (1996). Corporate Culture and
Performance. New York, USA: The Free Press.
Kuznets, S. (1995). Economic Growth and Income Inequality. American
Economic.
Lumpkin, G., & Dess, G. G. (1996). Clarifying the Entreprenuurial
Orientation Construct and Linking it to the Performance. The Academy of
Management Review Vol 21, No. 1. , 135 - 172.
Mankiw, N. G. (2007). Macroeconomics, 7th ed. . New York: John Wiley
& Sons, Inc.
Mustajab, M. (2009). Infrastructure Investment in Indonesia: Process and
Impact. Dissertation. Netherland: Rijksuniversiteit Groningen.
O’Fallon, C. (2003). Linkages between Infrastructure and Economic
Growth. . Wellington, New Zealand: Pinnacle Research.
Rostow. (1960). The Stages of Economic Growth: A Non-Communist
Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press.
Russo, M. (2001). Institutions, exchange relations, and the emergence of
new fields:regulatory policies and independent power production in America,
1978-1992. Administrative Science Quarterly, 46 , 57 - 86.
Schein, E. H. (2004). Organizational Culture and Leadership, 3rd ed.
San Fransisco, USA: John Wiley and Sons, Inc.
Susanto, A., Sujanto, F., H. Wijanarko, S., Mertosono, (2008). Corporate
Culture and Organization Culture: A Strategic. Jakarta: The Jakarta
Consulting Group.
World_Bank. (1994). World Development Report 1994: Infrastructure for
Development. New York: Oxford University Press.
Todaro, M. P. (1977). Economic Development in the Third World. An
Introduction to Problems and Policies in a Global Perspective. New York:
Inc. Longman.
Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2011). Economic Depelovment. New
York: Longman.
Tushman, M., & Anderson, P. (1990). Technological discontinuities and
organizational environments. Administrative Science Quarterly , 439 -
465.