Monday 23 July 2018

PENGARUH INFRASTRUKTUR, BUDAYA, DAN ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN TERHADAP KINERJA USAHA DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PENGUSAHA INDUSTRI KAYU DI PROVINSI BALI



I.     PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah

Dalam paradigma pembangunan ekonomi, perubahan kesejahteraan masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Hal ini dikarenakan pembangunan ekonomi dikatakan berhasil jika tingkat kesejahteraan masyarakat semakin baik. Keberhasilan pembangunan ekonomi tanpa menyertakan peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan kesenjangan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat adalah suatu kondisi yang memperlihatkan tentang keadaan kehidupan masyarakat yang dapat dilihat dari standar kehidupan masyarakat (Badrudin, 2012).

Kerajinan industri kayu di Provinsi Bali telah ada sejak tahun 1980-an, dan mengalami puncak kejayaan di tahun 2003 dengan kenaikan mencapai 20,9 persen seiring berkembangnya industri pariwisata di Bali. Potensi kerajinan kayu di Bali sebagian besar merupakan usaha pribadi.

Hal ini menunjukkan minat masyarakat di kabupaten/kota di Bali dalam wirausaha di bidang kerajinan kayu cukup tinggi dan membuka peluang usaha bagi masyarakat lainnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengembangan usaha industri kerajinan kayu di Provinsi Bali banyak ditemukan kendala seperti banyak pengusaha industri kayu tidak memiliki hak paten atas produk kerajinan, sulitnya mencari pasokan bahan baku di Bali, dan lemahnya sistem pemasaran hasil produksi.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; menganalisis pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya, orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; menganalisis pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu melalui mediasi kinerja usaha di Provinsi Bali; dan untuk menganalisis pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu melalui faktor kontekstual  di Provinsi Bali.

 

1.2    Landasan Teori

a.      Infrastruktur Pembangunan

Infrastruktur diketahui memiliki peran yang luas dan mencakup berbagai konteks dalam pembangunan, baik dalam konteks fisik-lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, politik, dan konteks lainnya. Salah satu infrastruktur yang besar perannya dalam pengembangan dan pembangunan ruang, baik dalam lingkup negara ataupun lingkup wilayah adalah infrastruktur transportasi.

Transportasi adalah infrastruktur yang mampu menciptakan mobilitas sosial dan ekonomi masyarakat (barang dan manusia/penumpang), dan menghubungkan resources dan hasil produksi ke pasar (perdagangan/ trade). Infrastruktur transportasi akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat seperti memungkinkan terjadinya perdagangan antar wilayah, perluasan pasar, terciptanya kompetisi, penyebaran pengetahuan, dan meningkatnya aksesibilitas penduduk terhadap sarana pendidikan dan kesehatan dimana pada akhirnya akan meningkatkan pula kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat.

Infrastruktur merupakan driving force dalam pertumbuhan ekonomi. Perannya dalam mengembangkan sebuah wilayah tak terbantahkan. Beberapa fakta empiris menyatakan bahwa perkembangan kapasitas infrastruktur di suatu wilayah akan berjalan seiring dengan perkembangan output ekonomi. World Bank (1994) bahkan secara tegas menyatakan bahwa secara average peningkatan stok infrastruktur sebesar 1 persen akan berasosiasi dengan peningkatan PDB sebesar 1 persen pula.  Fakta empirik ini merupakan pernyataan yang menjanjikan sekaligus menantang (challenging) bagi semua negara untuk menindaklanjutinya melalui meningkatkan pasokan infrastrukturnya.

World Bank (1994) mendefinisikan infrastruktur pembangunan dalam konteks ekonomi sebagai terminologi yang memayungi berbagai aktivitas yang terkait biaya-biaya overhead yang dikeluarkan pemerintah untuk kepentingan-kepentingan sosial (sosial overhead capital).

Todaro (1977) menyebutkan bahwa infrastruktur pembangunan bukan hanya bersifat fenomena semata, namun pembangunan tersebut harus juga meliputi sisi materi dan sisi non-materi dari kehidupan manusia. Dengan demikian infrastruktur pembangunan secara ideal merupakan suatu proses multidimensi, yang menyertakan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, dan dimensi lainnya. Secara ringkas, multi dimensi pada proses pembangunan memiliki arti bahwa pembangunan dengan segenap aktivitasnya harus melibatkan dimensi ekonomi dan dimensi non-ekonomi.

b.      Budaya

Konsep budaya sejak awal telah menjadi bahasan utama dalam bidang antropologi, dan telah memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku organisasi (organizational behavior). Konsep budaya pertama kali muncul ke permukaan sebagai suatu dimensi utama di dalam memahami perilaku organisasi  sehingga banyak karya terakhir berpendapat tentang peran kunci budaya dalam mencapai keunggulan organisasi (Schein, 2004). Budaya dan masyarakat merupakan dua buah sisi yang tidak terpisahkan. Pemahaman yang benar terhadap suatu masyarakat akan membantu memahami budaya masyarakat tersebut secara utuh dan benar.

Kesadaran mengenai pentingnya peranan budaya dalam sebuah organisasi semakin mengemuka dan mendapat tempat yang semakin penting dalam kajian ilmu manajemen. Kajian tersebut kemudian diaplikasikan dalam konteks praktik-praktik ilmu manajemen sehingga melahirkan istilah budaya perusahaan (corporate culture) yang dalam perkembangannya telah meluas menjadi kajian budaya organisasi (organization culture).

Hodgetts & Luthan (2003) mengungkapkan bahwa budaya merupakan suatu pengetahuan di mana masyarakat menggunakan pengalamannya untuk menghasilkan suatu sikap diri dan perilaku sosial. Pengetahuan ini akan membentuk nilai-nilai, menciptakan sikap, dan mempengaruhi perilaku masyarakat sebagai anggota masyarakat atau keluarga masyarakat tertentu yang tidak mungkin dihindari.

Susanto, et al (2008) mendefinisikan budaya sebagai sekumpulan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kapabilitas serta kebiasaan yang diperoleh sebagai anggota sebuah perkumpulan atau komunitas tertentu. Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1997), kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan dari sistem nilai, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang diperoleh melalui proses belajar.

c.      Orientasi Kewirausahaan

Miller dan Friesen (1982) berpendapat bahwa orientasi kewirausahaan menjadi berbeda karena memiliki titik berat pada inovasi produk baru. Hal ini ditandai oleh beberapa organisasi yang mempunyai kemauan berinovasi secara berani dan regular pada pengambilan risiko yang cukup besar dalam strategi pemasaran produknya. Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan.

Kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja perusahaan. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewirausahaan disebut-sebut sebagai spearhead (pelopor) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.

Orientasi kewirausahaan memiliki tiga karakteristik utama, yaitu inovasi, pengambilan risiko, dan proaktif (Covin dan Slevin, 1991; Milleret al., 1982; Miller dan Friesen, 1982). Sementara menurut G. T. Lumpkin and Gregory G. Dess (2008) bahwa orientasi kewirausahaan menyebutkan lima karakteristik yaitu kemandirian, inovasi, pengambilan risiko, proaktif dan keagresifan dalam bersaing.

d.      Kinerja Usaha

Kinerja merupakan gambaran mengenai sejauh mana keberhasilan atau kegagalan organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya dalam rangka mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misinya. Dengan kata lain, kinerja merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu.

Menurut Mulyadi (2001: 337) Kinerja usaha adalah keberhasilan personil, tim, atau unit organisasi dalam mewujudkan sasaran strategik yang telah ditetapkan sebelumnya dengan perilaku yang diharapkan. Kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang ditetapkan. Kinerja perusahaan hendaknya merupakan hasil yang dapat diukur dan menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan dari berbagai ukuran yang disepakati.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah kemampuan, usaha, dan kesempatan personel, tim, atau unit organisasi dalam melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan sasaran strategik yang telah ditetapkan. Keberhasilan pencapaian strategik yang menjadi basis pengukuran kinerja perlu ditentukan ukurannya, dan ditentukan inisiatif strategik untuk mewujudkan sasaran-sasaran tersebut. Sasaran strategik beserta ukurannya kemudian digunakan untuk menentukan target yang dijadikan basis penilaian kinerja. Oleh karena itu, pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dapat dilakukan terhadap aktivitas dari berbagai rantai nilai yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang pelaksanaan suatu rencana dimana perusahaan memerlukan penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian tersebut. 

e.      Kesejahteraan Rumah Tangga

Menurut Sen (1982) kesejahteraan didefinisikan sebagai perwujudan tingkat pemenuhan utilitas seluruh masyarakat dalam suatu perekonomian, yang besarnya tergantung dari kesejahteraan yang diterima oleh masing-masing individu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 yang merupakan amandemen Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992, menyatakan ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.

Kesejahteraan itu sendiri merupakan fungsi dari seluruh utilitas individu sebagai anggota masyarakat dalam suatu perekonomian. Sedangkan utilitas masing-masing individu merupakan fungsi dari berbagai konsumsi atas barang. Kesejahteraan sosial dianggap meningkat jika, paling tidak, ada satu individu yang mengalami peningkatan kesejahteraan dimana individu lainnya tidak mengalami penurunan tingkat kesejahteraan. Dari sini, langkah awal untuk melihat kesejahteraan masyarakat adalah pengukuran terhadap kesejahteraan individu.

Arsyad dan Sukirno mengemukakan bahwa tingkat pendapatan perkapita tidak sepenuhnya mencerminkan tingkat kesejahteraan karena kelemahan yang bersumber dari ketidaksempurnaan dalam penghitungan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita dan kelemahan yang bersumber dari kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat bukan hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan tetapi juga faktor-faktor lain (Badrudin: 2012).

f.       Faktor Kontekstual

Faktor konteksual adalah faktor-faktor yang penting yang sedang dimiliki atau dilakukan oleh pengusaha industri kecil dan menengah yang dapat berkaitan langsung terhadap  kelangsungan hidup dari perusahaan. Faktor-faktor tersebut dapat dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal perusahaan.

Beberapa jenis dimensi dari faktor konteksual adalah sistem pemasaran, teknologi, akses permodalan, akses informasi, adanya perencanaan bisnis, sikap kewiraswastaan yang dimiliki oleh pengelola, dan bantuan yang diberikan pemerintah, dan lain-lain.

 

1.3    Metode Penelitian

a.      Variabel Penelitian

Sesuai dengan judul disertasi ini yaitu pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha dan kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali maka didapatkan variabel eksogen dalam penelitian ini adalah infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan, sedangkan variabel endogennya adalah kinerja usaha dan kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu.

Kinerja usaha disamping sebagai variabel endogen juga berfungsi sebagai variabel antara yang memediasi pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali. Sedangkan untuk mempertajam analisis pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali digunakan faktor kontekstual sebagai variabel moderator.

b.      Populasi dan Sampel

Sebagai populasi penelitian adalah pengusaha industri kayu yang ada di masing-masing kabupaten/kota yang datanya diambil secara langsung baik pada saat survey awal maupun penelitian di lapangan.

Sampel penelitian diambil di setiap kabupaten/kota adalah perwakilan dari setiap kabupaten/kota yang akan diberikan kuisioner untuk dimintai pendapatnya. Sampel IKM diambil sebanyak 164 pengusaha, berdasarkan rumus Slovin (Umar, 2003) dengan derajat kesalahan (a) 5 sampai dengan 10 persen (dalam penelitian ini digunakan e = 7.5 persen).

c.      Teknik Pengumpulan Data

Studi ini merupakan studi eksplanatori dengan menggunakan metode survei. Survei dilakukan kepada 164 responden kepala rumah tangga pengrajin industri kayu di Provinsi Bali dengan metode disproportional random sampling.

Data dikumpulkan secara cross section dengan menggunakan daftar pertanyaan yang selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Model yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah Structural Equition Model (SEM).

d.      Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan untuk membedah masalah atau menguji hipotesis, dalam penelitian adalah Structural Equition Model (SEM). Model Persamaan Struktural atau Structural Equation Model (SEM) adalah teknik-teknik statistika yang memungkinkan pengujian suatu rangkaian hubungan yang relatif kompleks secara simultan. Hubungan yang kompleks dapat dibangun antara satu atau beberapa variabel dependen dengan satu atau beberapa variabel independen.

Adapun model penelitian Structural Equation Model (SEM) yang digukanan dalam penelitian ini melibatkan beberapa beberapa variabel seperti tampak pada Gambar 1 berikut.


Gambar 1. Model Analisis Data dengan Structural Equation Model (SEM)


Penggunaan SEM dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan  berikut: Fenomena yang diteliti bersifat multidemensi (multi indikator) sehingga  dibutuhkan suatu model komprehensif yang sekaligus dapat menjadi teknik yang mampu mengakomodasi penelitian multidimensi (Ferdinand, 2002). Dengan demikian, SEM merupakan pendekatan  yang sangat sesuai karena mampu menganalisis secara simultan; SEM merupakan pengembangan analisis regresi. Penggunaan SEM karena mempertimbangkan keterbatasan analisis regresi dalam penelitian multidimensi. Regresi umumnya hanya dapat menganalisis satu hubungan pada satu waktu. Sementara SEM sebagai perluasan dan kombinasi beberapa teknik multivariant memungkinkan melakukan pengujian serangkaian hubungan yang rumit secara simultan; dan SEM memungkinkan peneliti menjawab pertanyaan penelitian yang bersifat regresif atau dimensional. Melalui SEM, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa dimensi sebuah konstruk sekaligus mengukur pengaruh antar faktor yang telah diidentifikasi.

 

II.     PEMBAHASAN

a.      Uji Validitas Instrumen Penelitian

Berdasarkan hasil uji validitas data dengan menggunakan korelasi Product Moment  dapat disimak bahwa semua instrumen atau butir-butir pertanyaan yang digunakan adalah valid. Hal ini ditunjukkan dengan signifikansi antara 0,000 dan 0,033. Mengenai korelasi skor masing-masing instrumen dengan total skor kelompok instrumen adalah antara 0,175 dan 0,902.

b.      Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian

Suatu instrumen penelitian dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan yang diajukan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Hasil Uji Reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut :

 

Tabel 1 Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian

Konstruk

Chronbach's Alpha

Jumlah Item

Keterangan

IP

0,840

14

Reliabel

Bud

0,964

22

Reliabel

OK

0,909

16

Reliabel

KU

0,886

14

Reliabel

KRT

0,866

10

Reliabel

FK

0,871

10

Reliabel


Hasil output PLS mengenai convergent validity seperti tersaji pada Tabel di atas dapat diketahui bahwa semua indikator yang membentuk konstruk dalam penelitian ini secara statistik adalah signifikan dengan nilai t-hitung lebih besar dari 1,96 dengan p-value sebesar 0,0000. Demikian juga nilai loading semua di atas 0,05 yang berarti bahwa konstruk yang dibuat telah memenuhi syarat convergent validity.

 

c.      Uji Outer Model

Uji Outer Model pada penelitian ini terdiri dari uji Convergent Validity, Discriminant Validity dan Cross Loading Indikator.

Hasil uji converget validity diperoleh hasil bahwa semua indikator yang membentuk konstruk dalam penelitian ini secara statistik adalah signifikan dengan nilai t-hitung lebih besar dari 1,96 dengan p-value sebesar 0,0000. Demikian juga nilai loading semua di atas 0,05 yang berarti bahwa konstruk yang dibuat telah memenuhi syarat convergent validity.

Uji discriminant validity dengan pengolahan data Smart PLS 3.0 dapat dikatakan sudah terpenuhi dengan baik dengan melihat nilai cross loading pada masing-masing konstruknya (nilai yang dicetak tebal) lebih tinggi dibandingkan dengan konstruk lainnya.

Kelayakan konstruk yang dibuat juga dapat dilihat dari discriminant validity melalui Average Variance Extracted (AVE), Composite Reliability (CD) yang umumnya digunakan untuk indikator reflektif dan bertujuan untuk mengukur konsistensi internal suatu konstruk, dan Cronbach’s Alpha. Hasil olahan datanya disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2
Average Variance Extracted (AVE), Composite Reliability (CR), dan Cronbach’s Alpha pada Masing-masing Variabel Penelitian

Indikator

Average Variance Extracted (AVE)

Composite Reliability

Cronbach’s Alpha

BUD

0.450

0.797

0.686

FK

0.582

0.871

0.810

IP

0.587

0.876

0.821

KRT

0.635

0.896

0.855

KU

0.687

0.898

0.849

Moderating Effect

0.474

0.934

0.929

OK

0.605

0.834

0.836

 

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa semua indikator memiliki nilai average variance extracted lebih tinggi dari 0,50 kecuali BUD dan Moderating Effect. Indikator budaya diperoleh nilai 0,450 dan Moderating Effect  0.474 lebih tinggi dari 0,40 seperti yang disyaratkan oleh (Lai dan Fan, 2008) dan (Vinzi, at al, 2010). Untuk nilai composite reliability (CR) seluruh indikator memiliki nilai lebih tinggi dari 0,70 dan nilai chronbach’s alpha senilai di atas 0,60. 

d.      Uji Inner Model

Pengujian Inner Model dengan menggunakan PLS-SEM bertujuan untuk menyajikan koefisien determinasi R2 yang memberikan informasi seberapa besar variasi nilai dari variabel independen dapat memberikan dampak atas perubahan variabel dependen yang disertakan dalam penelitian ini. Tabel 3 menampilkan nilai R2 dari masing-masing variabel dependen pada penelitian ini.

Tabel 3 Nilai R-Square

Konstruk Dependen

Nilai R2

Keterangan

Kinerja Usaha (KU)

0,423

Hubungan Moderat

Kesejahteraan Rumah Tangga (KRT)

0,864

Hubungan kuat


Pada tabel 3 terlihat bahwa hasil olahan data dengan PLS-SEM diperoleh nilai R2 = 0,423 untuk variabel kinerja usaha (KU) dan R2 = 0,864 untuk variabel kesejahteraan rumah tangga (KRT). Nilai R2 yang diperoleh untuk variabel kinerja usaha maupun variabel kesejahteraan rumah tangga seperti penjelasan di atas tergolong moderat dan kuat, maka dapat dikatakan bahwa variabel dependen dalam penelitian ini memiliki informasi yang relatif memadai.

e.      Uji Hipotesis

Untuk mengetahui pengaruh langsung antar variabel dapat dilihat dari hasil analisis path coefficients yang ditampilkan pada Tabel 4

 

Tabel 4 Pengaruh Langsung Antar Variabel Penelitian

Variabel

Original Sample (O)

Sample Mean (M)

Standard Deviation (STDEV)

T Statistics (|O/STDEV|)

P Values

BUD --> KRT

0.237

0.235

0.041

5,764

0.000

BUD --> KU

0.180

0.168

0.077

2,347

0.019

FK --> KU

0.236

0.250

0.100

2,351

0.019

IP --> KRT

0.348

0.349

0.051

6,818

0.000

IP --> KU

0.171

0.163

0.075

2,278

0,023

KU --> KRT

0.452

0.443

0.045

10,005

0.000

Moderating Effect --> KU

0.292

0.307

0.080

3,665

0.000

OK --> KRT

0.299

0.296

0.040

7,451

0.000

OK --> KU

0.194

0.205

0.095

2,052

0.041


1.      Pengaruh langsung variabel infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha

Tabel 4 menunjukkan bahwa pengaruh infrastruktur pembangunan terhadap kinerja usaha dengan koefisien regresi 0,171 dan signifikansi 0,023 (lebih kecil dari 0,05).

Pengaruh budaya terhadap kinerja usaha dengan koefisien regresi 0,180 dan signifikansi 0,019 (lebih kecil dari 0,05).

Pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha dengan koefisien regresi 0,194 dan signifikansi 0,041 (lebih kecil dari 0,05).

Dapat disimpulkan bahwa secara langsung pembangunan, budaya, dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali.

 

2.      Pengaruh langsung variabel infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga

Tabel 4 menunjukkan bahwa pengaruh infrastruktur pembangunan terhadap kesejahteraan rumah tangga dengan koefisien regresi 0,348 dan signifikansi 0,000 (lebih kecil dari 0,05).

Pengaruh budaya terhadap kesejahteraan rumah tangga dengan koefisien regresi 0,237 dan signifikansi 0,000 (lebih kecil dari 0,05).

Pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga dengan koefisien regresi 0,299 dan signifikansi 0,000 (lebih kecil dari 0,05).

Dapat disimpulkan bahwa secara tidak langsung infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali.

 

3.      Pengaruh tidak langsung variabel infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga melalui mediasi kinerja usaha

Pengaruh tidak langsung adalah pengaruh yang diukur secara tidak langsung dari satu variabel ke variabel lainnya melalui variabel antara (intervening rariable). Koefisien pengaruh tidak langsung ini dapat diperoleh dari hasil pengalian kedua pengaruh langsung masing-masing variabel. Bilamana kedua koefiosien pengaruh langsung menunjukkan hasil signifikan, maka koefisien pengaruh tidak langsung juga akan signifikan. Sebaliknya apabila salah satu atau kedua koefisien pengaruh langsung tidak signifikan, maka koefisien pengaruh tidak langsung juga tidak signifikan.

Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh tidak langsung antar variabel laten dapat dilihat dari hasil analisis nilai indirect effect yang disajikan pada Tabel 5

 

Tabel 5. Pengaruh Tidak  Langsung Antar Variabel Penelitian

Varabel

Original Sample (O)

Sample Mean (M)

Standard Deviation (STDEV)

T Statistics (|O/STDEV|)

P Values

BUD --> KRT

0.081

0.074

0.034

2,380

0.018

BUD --> KU

 

 

 

 

 

FK --> KRT

0.107

0.110

0.044

2,446

0.015

FK --> KU

 

 

 

 

 

IP --> KRT

0.077

0.072

0.034

2,276

0.023

IP --> KU

 

 

 

 

 

KU --> KRT

 

 

 

 

 

Moderating Effect --> KRT

0.132

0.136

0.037

3,535

0.000

Moderating Effect --> KU

 

 

 

 

 

OK --> KRT

0.088

0.091

0.044

2,012

0.045

OK --> KU

 

 

 

 

 

 

Dari tabel 5 di atas diperoleh hasil sebagai berikut :

Pengaruh tidak langsung variabel infrastruktur pembangunan terhadap kesejahteraan rumah tangga melalui mediasi kinerja usaha diperoleh hasil koefisien regresi 0,077 dengan signifikansi 0,023 (lebih kecil dari 0,05).

Pengaruh tidak langsung variabel budaya terhadap kesejahteraan rumah tangga melalui mediasi kinerja usaha diperoleh hasil koefisien regresi 0,081 dengan signifikansi 0,018 (lebih kecil dari 0,05).

Pengaruh tidak langsung variabel orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga melalui mediasi kinerja usaha diperoleh hasil koefisien regresi 0,088 dengan signifikansi 0,045 (lebih kecil dari 0,05).

Dapat disimpulkan bahwa secara tidak langsung infrastruktur pembangunan, budaya, dan orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga melalui mediasi kinerja usaha.

 

4.      Pengaruh tidak langsung variabel orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha melalui mediasi faktor kontekstual.

Berdasarkan tabel 5 di atas juga diperoleh hasil pengaruh tidak langsung variabel orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha melalui mediasi faktor kontekstual dengan nilai koefisien regresi 0,132 dengan signifikansi 0,000 (lebih kecil dari 0,05).

Dapat disimpulkan bahwa secara tidak langsung variabel orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha melalui mediasi faktor kontekstual.

 

f.       Pembahasan

Dari hasil uji hipotesis seperti tersebut di atas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut.

Bahwa infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengrajin industri kayu di Provinsi Bali. Artinya bahwa semakin baik infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan maka semakin baik pula kinerja usaha pengrajin industri kayu di Provinsi Bali.

Bahwa infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengrajin industri kayu di Provinsi Bali. Artinya bahwa semakin baik infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan maka semakin baik pula kesejahteraan rumah tangga pengrajin industri kayu di Provinsi Bali.

Bahwa infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara tidak langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengrajin industri kayu di Provinsi Bali, sedangkan kinerja usaha secara tidak langsung juga memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengrajin industri kayu di Provinsi Bali, sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja usaha mampu memediasi pengaruh infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengrajin industri kayu di Provinsi Bali. Semakin baik kinerja usaha maka semakin mampu memberikan efek mediasi terhadap hubungan infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengrajin industri kayu di Provinsi Bali.

Hahwa orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengrajin industri kayu di Provinsi Bali. Demikian pula faktor kontekstual juga memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengrajin industri kayu di Provinsi Bali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor kontekstual mampu memberikan efek moderasi terhadap hubungan orientasi kewirausahaan terhada kinerja usaha pengrajin industri kayu di Provinsi Bali. Artinya semakin tinggi pengaruh faktor kontekstual terhadap kinerja usaha, maka semakin baik pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha pengrajin industri kayu di Provinsi Bali


III.   PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, terdapat beberapa simpulan dalam penelitian ini, bahwa 1) infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; 2)  infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; 3) infrastruktur pembangunan, budaya dan orientasi kewirausahaan secara tidak langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali, sedangkan kinerja usaha secara tidak langsung juga memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga pengusaha industri kayu di Provinsi Bali; dan 4) orientasi kewirausahaan secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali. Demikian pula faktor kontekstual juga memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor kontekstual mampu memberikan efek moderasi terhadap hubungan orientasi kewirausahaan terhada kinerja usaha pengusaha industri kayu di Provinsi Bali.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pengrajin menyebutkan bahwa : pengaruh budaya global terhadap budaya lokal tidak dapat dihindari  Oleh sebab itu, apabila budaya lokal dapat dipertahankan atau dilestarikan, budaya lokal harus mempertahankan cara hidup lokal, tetapi juga mengikuti proses yang mengglobal. Keragaman budaya yang ada/ dimiliki oleh masing-masing komunitis desa pekraman telah memperkaya dan memberi keindahan tersendiri bagi masyarakat Bali,  untuk itu pengrajin melakukan perubahan dengan pesanan (made to order)  dari konsumen yang umumnya mengikuti selera pasar.  Para pengrajin menggunakan imajinasinya untuk berinovasi secara kreatif agar tercipta desain - desain baru yang diproduksi.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantara adalah indikator yang digunakan belum semuanya digunakan dalam penelitian ini dalam artian masih banyak indikator-indikator lain yang bisa diteliti untuk pengembangan penelitian ini lebih lanjut, seperti indikator pola tindak, pola pikir, dan pola sikap yang membentuk variabel budaya. Indikator kemiskinan, kependudukan, dan indikator sosial lain yang membentuk variabel kesejahteraan rumah tangga dan indikator mental kewirausahaan yang membentuk faktor kontekstual.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

AgĂ©nor, P. R.-D. (2009). “Publik Infrastruktur and Growth: New Channels and Policy Implications”. Working Paper (hal. 23, No. 2, pp. 177 – 200). World Bank Policy Research.

Apparicio, L., & Jolie, M. P. (2007). Socioeconomic evaluation of Megaprojects. New York: Rotledge, New York.

Covin, J., & Slevin, D. (1991). A conceptual model of entrepreneurship as firm behavior. , pp. 7-25. Entrepreneurship Theory and Practice 16 , 7 - 25.

Hersey, P., & Blanchard, K. H. (1992). Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources, 6th ed. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.

Hodgetts, R., & Luthan, F. (2003). International management, culture, Strategy and Behavior. New York: McGraw-Hll.

Hofstede, G. G. (2010). Cultures and Organizations: Software of the Mind, 3rd ed. London, UK: McGraw-Hill.

Koentjaraningrat. (2005). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kotter, J., & Heskett, J. L. (1996). Corporate Culture and Performance. New York, USA: The Free Press.

Kuznets, S. (1995). Economic Growth and Income Inequality. American Economic.

Lumpkin, G., & Dess, G. G. (1996). Clarifying the Entreprenuurial Orientation Construct and Linking it to the Performance. The Academy of Management Review Vol 21, No. 1. , 135 - 172.

Mankiw, N. G. (2007). Macroeconomics, 7th ed. . New York: John Wiley & Sons, Inc.

Mustajab, M. (2009). Infrastructure Investment in Indonesia: Process and Impact. Dissertation. Netherland: Rijksuniversiteit Groningen.

O’Fallon, C. (2003). Linkages between Infrastructure and Economic Growth. . Wellington, New Zealand: Pinnacle Research.

Rostow. (1960). The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press.

Russo, M. (2001). Institutions, exchange relations, and the emergence of new fields:regulatory policies and independent power production in America, 1978-1992. Administrative Science Quarterly, 46 , 57 - 86.

Schein, E. H. (2004). Organizational Culture and Leadership, 3rd ed. San Fransisco, USA: John Wiley and Sons, Inc.

Susanto, A., Sujanto, F., H. Wijanarko, S., Mertosono, (2008). Corporate Culture and Organization Culture: A Strategic. Jakarta: The Jakarta Consulting Group.

World_Bank. (1994). World Development Report 1994: Infrastructure for Development. New York: Oxford University Press.

Todaro, M. P. (1977). Economic Development in the Third World. An Introduction to Problems and Policies in a Global Perspective. New York: Inc. Longman.

Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2011). Economic Depelovment. New York: Longman.

Tushman, M., & Anderson, P. (1990). Technological discontinuities and organizational environments. Administrative Science Quarterly , 439 - 465.

 

 

 

 

 


Pendakian Gunung Lemongan

  Kali ini saya mendaki Gunung Lemongan yang berada di dua kabupaten yaitu Lumajang dan Probolinggo. Saya mengambil jalur Klakah - Lumajang ...